Selasa, 21 Juni 2016

Kisah Romantik Dompet Antik


Saat aku berjalan pulang di suatu hari yang dingin, aku tersandung pada sebuah dompet. Penasaran, aku memungutnya. Dompet itu berbahan kulit, berwarna cokelat, dan terlihat sudah sangat usang. Tidak ada kartu identitas didalamnya. Hanya  berisi tiga lembar uang dan sebuah amplop kusut yang tampaknya sudah berada di sana selama bertahun-tahun. “duaribu rupiah, sepuluh ringgit, lima ringgit…” aku menyebutkan nominal tiga lembar uang itu. “jadii… duaribu limabelas…”

Dompet Achmad
illustration by google image
Lantas kubuka amplop itu. Ah, sepucuk surat. Mungkin disini ada petunjuk, pikirku. tercantum dateline-1955 disana. Berarti kemungkinan besar surat itu ditulis sekitar 60 tahun yang lalu. Cocok memang, jika disesuaikan dengan kondisinya yang telah kusut. Ia ditulis menggunakan tinta hitam dengan begitu cantik di atas kertas biru berhias bunga kecil di sudut kiri. Oh, sungguh penulis yang memiliki jiwa seni tinggi.

Achmad. Surat itu ditujukan kepada Achmad. Penulisnya mengaku bahwa ia tidak bisa melanjutkan lagi hubungan asmaranya dengan Achmad karena orangtuanya melarang. Meski begitu, dia juga menyampaikan bahwa sampai kapanpun dia akan selalu mencintai Achmad. Ditandatangani, Hannah.

Tulisan panjang itu sangat romantis dan indah. Benar - benar Surat Cinta yang mempesona. tapi disana tidak ada petunjuk apapun selain nama dan alamat Achmad. Aku harus pergi ke alamat yang tertulis disitu. Dompet antik ini pasti sangat berharga bagi Achmad. Saat ini dia pasti merasa sangat kehilangan.

Tok, tok,tok.
“permisii… benar ini rumah Pak Achmad?” tanyaku pada wanita yang sedang menggendong anak kecil itu. Dia tersentak, "Oh, benar! Dulu rumah ini memang milik Pak Achmad. Tapi dia sudah tidak tinggal disini lagi. Rumah ini telah kami beli sekitar 30 tahun yang lalu "

"Apakah Anda tahu di mana beliau tinggal sekarang?" Tanyaku.

"Saya tidak tahu. Yang saya ingat, Pak Achmad memiliki sedikit gangguan jiwa karena ditinggal pergi oleh kekasihnya. Setiap hari dia meratapi wanita yang bernama…”

“Hannah??” potongku penasaran.

“Yapp! Hannah‼ Saya punya nomor telepon rumahnya.”

Dia menyerahkan kartu nama padaku. Tanpa menunggu waktu lama aku menelpon. Suara diseberang menerangkan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo. Lantas dia menyebutkan nama dan alamat panti jompo tersebut.

Sialan! Semua ini hanyalah omong kosong. Rutukku dalam hati. Mengapa aku musti sibuk kesana-kemari mencari pemilik dompet lusuh yang hanya berisi tiga lembar uang dan sepucuk surat usang?? Huh! Aku melakukan hal yang tak berguna!

Namun demikian, akhirnya akupun mengunjungi panti jompo itu untuk menemui Hannah. "Ya, Ibu Hannah memang tinggal bersama kami." Jawab salah satu perawat panti.

Tok, tok, tok.
“Ibu Hannah, ada tamu. Tolong bukakan pintu…” sapa sang perawat.

“iya, tunggu sebentar…” sahut suara dari dalam. Terdengar sedikit parau namun masih terasa lembut.

Cekrek. Pintu dibuka. Berdiri dihadapanku nenek berambut perak manis dengan senyum hangat dan binar di matanya. Aku dipersilahkan masuk dan duduk bercerita padanya tentang dompet dan menunjukkan surat itu padanya. Disambutnya amplop itu. Matanya berkaca-kaca. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Achmad..."

Dia memalingkan muka sejenak. Tenggelam dalam pikiran dan kemudian berkata pelan, "Aku sangat mencintainya. Tapi aku baru berusia 16 tahun pada waktu itu dan orangtuaku merasa aku masih terlalu muda. Oh, padahal aku sangat mencintai Achmad…" Hannah menatap jendela kaca. Pikirannya menerawang jauh.

"Ya, aku sangat mencintainya." lanjutnya. "Achmad adalah orang yang indah. Jika Anda bertemu dengannya, katakan bahwa Hannah selalu memikirkannya, dan" Ia terdiam. Ragu melanjutkan ucapan.

“dan apa…??” desakku penasaran.

"dan katakan padanya, Hannah masih sangat mencintainya. Kau tahu? Aku sangat merindukannya. Hati ini hanya mampu diisi oleh dirinya… " katanya tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Airmatanya tak terbendung lagi.

"Aku tidak pernah menikah. Aku tak sanggup menikah dengan orang lain. Tiada seorangpun yang bisa menggantikan Achmad..." airmatanya semakin membanjir. Didekapnya amplop beserta surat biru itu erat - erat.

Aku termangu. Sungguh, kesetiaan abadi yang tak terperi. Aku berterima kasih pada Hannah dan berpamitan sambil meninggalkan janji akan menyampaikan pesannya kepada Achmad.

Aku berjalan gontai menyusuri lorong panti. Kulirik di beranda ada sebuah bangku panjang. Kuputuskan untuk beristirahat disana. Mempertanyakan pada diriku sendiri mengapa aku sampai berbuat sejauh ini hanya demi dompet dan dua orang tua yang tak jelas asal usulnya. “Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Kemana aku harus mencari pemilik dompet ini?” desahku sambil menimang-nimang benda antik itu.

"Hei! bukankah itu milik bapak berkacamata di lantai tiga?”

Aku tersentak. Seorang penjaga telah berdiri dihadapanku. Mungkin aku terlalu jauh menghayati kasus ini hingga tak menyadari kehadirannya.

Dia selalu kehilangan dompet itu. Saya telah beberapa kali menemukan dompet itu tercecer."

“Achmad?”

“Ya! Bapak Achmad!” seru penjaga itu. “setiap dia pergi dia pasti menghilangkan dompet itu.”

Aku bergegas menuju kantor perawat. Kukatakan bahwa aku ingin mengunjungi Bapak Achmad di lantai tiga. Kami langsung menuju lantai tiga. Dengan perasaan harap-harap cemas aku mengikuti langkah si perawat menyusuri koridor. “kamar paling ujung.” Si perawat menunjuk kamar yang dimaksud. Ah, pintunya masih terbuka. Penghuninya pasti belum tidur, pikirku.

“permisi, Pak Achmad…”

“Saya sedang mencari barang saya yang hilang.” Sahut kakek berkacamata itu tanpa menoleh dan terus mengacak-acak seisi kamarnya.

"Anda mencari ini?” Aku menyerahkan dompet yang aku temukan kemarin.

Ia menghentikan aksinya dan berpaling kepadaku. Dipandanginya dompet ditanganku. Sejurus kemudian sepasang mata sayu itu mengarah padaku. Memperhatikanku dari ujung kepala hingga kaki.
“itu milik saya!” hardiknya seraya merampas dompet itu dariku.

“baiklah. Permisi.” Aku membalikkan badan. “Surat cinta itu romantis. Hannah sangat mencintaimu. Dan masih sangat mencintaimu.” Aku berlalu meninggalkan orangtua itu dan si perawat.

“hei, tunggu‼” cegah sang kakek. "Anda membaca surat didalam dompet ini?"

"Bukan hanya membacanya. Saya juga bertemu dengan penulisnya."

"Hannah?? Anda tahu di mana dia?” wajahnya menyeringai tak percaya.

“Ya.” Jawabku singkat.

dimana dia?? Bagaimana keadaannya? Apakah dia menceritakan tentang aku? Tolong tolong katakan padaku"

"Dia baik – baik saja. Masih seperti Hannah yang Anda kenal." Jawabku pelan.

Dia tersenyum simpul. Diraihnya tanganku lalu berkata, “Tolong pertemukan saya dengannya. Sudah lama aku meredam rasa rindu ingin bertemu. 60 tahun lalu. Sejak dia memberiku surat itu, tak pernah lagi kudapati dia dalam hidupku. Kuhabiskan waktuku selama 60 tahun itu untuk mencarinya, tapi tak kunjung bersua. Sampai sekarang, cinta ini masih suci hanya untuknya. Tiada satu perempuan pun sanggup gantikan dirinya. Saya mencintainya. Sungguh sangat mencintainya. Jadi, tolong… tolong pertemukan aku dengannya…”

Hatiku gamang menyaksikan ekspresi orangtua itu. Dia benar – benar tulus dengan ucapannya itu. Suaranya bergetar, airmatanya pun tumpah membasahi pipi keriputnya.

"Achmad…” suara lembut nan sedikit parau menyebut nama kakek itu dari depan pintu. Lantas kami menoleh kearah sumber suara.

"Hannah…??” sahut Achmad lirih. “Benarkah itu engkau, Hannah? Hannah kekasihku?” Kakek itu masih tak percaya yang berdiri didepan pintu sambil menyebut namanya itu adalah sosok wanita yang dicari-carinya selama ini.

“iya, Achmad. Ini aku, Hannah. Hannah yang selalu mencintaimu…" Hannah tersenyum.

“kemarilah, kekasihku…” ujarAchmad membentangkan tangannya. Tak ayal lagi, Hannah menghamburkan diri. Achmad pun mendekapnya erat. Tangis bahagia pecah diantara mereka berdua.

“Sungguh, sebuah reuni yang indah…" desis si perawat yang tiba-tiba saja menyandarkan kepalanya ke pundakku.

“Ya, pertemuan setelah sekian lama… Tuhan memanglah Maha Perencana. Semua akan indah pada waktunya…” jawabku dengan merangkulkan tangan kiriku padanya.

illustration by google image
illustration by google image
Satu minggu kemudian aku menerima sms, "Dapatkah Anda berkunjung ke Panti Jompo Senja Sejahtera pada hari selasa? Bapak Achmad dan Ibu Hannah akan melakukan pernikahan!"

“Wow! Hahaha, akhirnya! Yeaayy…‼” aku berteriak kegirangan. Tak sabar rasanya menantikan hari selasa yang hanya tinggal tiga hari lagi.

Acara yang ditunggu – tunggu pun tiba. Pernikahan yang indah dengan disaksikan oleh keluarga besar panti jompo. Hannah tampak serasi dengan gaun krem ​ringan bersanding dengan Achmad yang mengenakan jas biru tua.

Ah, puas rasa hatiku melihat resepsi ini. Tak sia – sia rupanya pengorbananku mencari pemilik dompet antik berisi surat usang dan uang duaribu limabelas. Ya, mereka menikah di tahun yang sama dengan jumlah nominal uang di dompet itu. Akhir yang sempurna untuk kisah cinta yang luar biasa.


Fiktif by Menuang IdeRestu Jati Prayogi.

Kisah Romantik Dompet Antik
4/ 5
Oleh

Terimakasih telah membaca. Berikan tanggapan Anda pada kolom komentar...