Saat aku berjalan
pulang di suatu hari yang dingin, aku tersandung pada
sebuah dompet. Penasaran, aku memungutnya. Dompet itu berbahan kulit, berwarna cokelat, dan terlihat sudah sangat
usang. Tidak ada kartu identitas didalamnya. Hanya berisi tiga lembar uang dan sebuah amplop kusut yang
tampaknya sudah berada di sana selama
bertahun-tahun. “duaribu rupiah, sepuluh ringgit, lima ringgit…”
aku menyebutkan nominal tiga lembar uang itu. “jadii… duaribu limabelas…”
illustration by google image |
Lantas
kubuka amplop itu. Ah, sepucuk surat. Mungkin disini ada petunjuk,
pikirku. tercantum dateline-1955 disana. Berarti kemungkinan besar surat itu
ditulis sekitar 60 tahun yang lalu. Cocok memang, jika disesuaikan dengan kondisinya yang
telah kusut. Ia ditulis menggunakan tinta hitam dengan begitu cantik di atas
kertas biru berhias bunga kecil di sudut kiri. Oh, sungguh penulis yang memiliki jiwa seni tinggi.
Achmad.
Surat itu ditujukan kepada Achmad. Penulisnya mengaku bahwa ia tidak bisa melanjutkan lagi hubungan
asmaranya dengan Achmad karena orangtuanya melarang.
Meski begitu, dia juga menyampaikan bahwa sampai kapanpun dia akan selalu mencintai Achmad. Ditandatangani,
Hannah.
Tulisan
panjang itu sangat romantis dan indah. Benar - benar Surat Cinta yang mempesona. tapi disana tidak
ada petunjuk apapun selain nama dan alamat Achmad. Aku harus pergi ke alamat yang tertulis
disitu. Dompet antik ini pasti sangat berharga bagi Achmad. Saat ini dia pasti
merasa sangat kehilangan.
Tok,
tok,tok.
“permisii…
benar ini rumah Pak Achmad?” tanyaku pada wanita yang sedang menggendong anak
kecil itu.
Dia tersentak, "Oh, benar! Dulu rumah ini memang milik Pak Achmad. Tapi dia sudah tidak tinggal
disini lagi. Rumah ini telah kami beli sekitar
30 tahun yang lalu… "
"Apakah Anda tahu di mana beliau tinggal sekarang?" Tanyaku.
"Saya tidak tahu. Yang saya ingat, Pak Achmad memiliki sedikit gangguan
jiwa karena ditinggal pergi oleh kekasihnya. Setiap hari dia meratapi wanita
yang bernama…”
“Hannah??”
potongku penasaran.
“Yapp!
Hannah‼ Saya punya nomor telepon rumahnya.”
Dia menyerahkan kartu nama padaku. Tanpa menunggu
waktu lama aku menelpon. Suara diseberang menerangkan bahwa Hannah
sekarang tinggal di sebuah panti jompo. Lantas dia menyebutkan nama dan alamat panti jompo tersebut.
Sialan! Semua ini hanyalah omong kosong. Rutukku dalam hati. Mengapa aku musti sibuk kesana-kemari mencari pemilik
dompet lusuh yang hanya berisi tiga lembar uang dan sepucuk surat usang?? Huh! Aku melakukan hal yang tak berguna!
Namun demikian, akhirnya akupun mengunjungi panti jompo
itu untuk menemui Hannah. "Ya, Ibu Hannah
memang tinggal bersama kami." Jawab salah
satu perawat panti.
Tok, tok,
tok.
“Ibu Hannah,
ada tamu. Tolong bukakan pintu…” sapa sang perawat.
“iya,
tunggu sebentar…” sahut suara dari dalam. Terdengar sedikit parau namun masih
terasa lembut.
Cekrek. Pintu
dibuka. Berdiri dihadapanku nenek berambut perak manis dengan senyum hangat
dan binar di matanya. Aku dipersilahkan masuk
dan duduk bercerita padanya tentang dompet dan menunjukkan surat itu padanya. Disambutnya amplop itu. Matanya berkaca-kaca. Ia mengambil
napas dalam-dalam lalu berkata, "Anak muda, surat ini adalah
hubunganku yang terakhir dengan Achmad..."
Dia memalingkan muka sejenak. Tenggelam
dalam pikiran dan kemudian berkata pelan, "Aku sangat mencintainya. Tapi aku
baru berusia 16 tahun pada waktu itu dan orangtuaku merasa aku masih terlalu
muda. Oh, padahal aku sangat mencintai Achmad…" Hannah menatap jendela kaca. Pikirannya menerawang jauh.
"Ya, aku sangat mencintainya." lanjutnya. "Achmad
adalah orang yang indah. Jika Anda bertemu
dengannya,
katakan bahwa Hannah selalu memikirkannya, dan…" Ia terdiam. Ragu melanjutkan ucapan.
“dan
apa…??” desakku penasaran.
"dan
katakan padanya, Hannah
masih sangat mencintainya. Kau tahu? Aku sangat merindukannya. Hati ini hanya mampu diisi oleh dirinya… " katanya
tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Airmatanya tak terbendung lagi.
"Aku tidak
pernah menikah. Aku tak sanggup menikah dengan orang lain.
Tiada seorangpun yang bisa menggantikan Achmad..." airmatanya semakin membanjir. Didekapnya amplop beserta surat biru itu
erat - erat.
Aku termangu.
Sungguh, kesetiaan abadi yang tak terperi. Aku berterima
kasih pada Hannah dan berpamitan sambil
meninggalkan janji akan menyampaikan pesannya kepada Achmad.
Aku
berjalan gontai menyusuri lorong panti. Kulirik di beranda ada sebuah bangku
panjang. Kuputuskan untuk beristirahat disana. Mempertanyakan pada diriku
sendiri mengapa aku sampai berbuat sejauh ini hanya demi dompet dan dua orang
tua yang tak jelas asal usulnya. “Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Kemana aku harus mencari pemilik dompet ini?” desahku sambil menimang-nimang benda
antik itu.
"Hei! bukankah itu milik bapak berkacamata di lantai tiga?”
Aku tersentak.
Seorang penjaga telah berdiri dihadapanku. Mungkin aku terlalu jauh menghayati
kasus ini hingga tak menyadari kehadirannya.
“Dia selalu kehilangan
dompet itu. Saya telah beberapa kali menemukan dompet itu tercecer."
“Achmad?”
“Ya!
Bapak Achmad!” seru penjaga itu. “setiap dia pergi dia pasti menghilangkan
dompet itu.”
Aku
bergegas menuju kantor perawat. Kukatakan bahwa aku
ingin mengunjungi Bapak Achmad di lantai tiga. Kami langsung menuju lantai tiga. Dengan
perasaan harap-harap cemas aku mengikuti langkah si perawat menyusuri koridor.
“kamar paling ujung.” Si perawat menunjuk kamar yang dimaksud. Ah, pintunya
masih terbuka. Penghuninya pasti belum tidur, pikirku.
“permisi,
Pak Achmad…”
“Saya
sedang mencari barang saya yang hilang.” Sahut kakek berkacamata itu tanpa
menoleh dan terus mengacak-acak seisi kamarnya.
"Anda mencari ini?” Aku menyerahkan dompet yang aku temukan kemarin.
Ia
menghentikan aksinya dan berpaling kepadaku. Dipandanginya dompet ditanganku.
Sejurus kemudian sepasang mata sayu itu mengarah padaku. Memperhatikanku dari
ujung kepala hingga kaki.
“itu milik saya!” hardiknya seraya
merampas dompet itu dariku.
“baiklah.
Permisi.” Aku membalikkan badan. “Surat cinta itu romantis. Hannah sangat
mencintaimu. Dan masih sangat mencintaimu.” Aku berlalu meninggalkan orangtua
itu dan si perawat.
“hei,
tunggu‼” cegah sang kakek. "Anda membaca surat didalam dompet ini?"
"Bukan hanya membacanya. Saya juga bertemu dengan penulisnya."
"Hannah?? Anda tahu
di mana dia?” wajahnya menyeringai tak percaya.
“Ya.”
Jawabku singkat.
“dimana dia?? Bagaimana keadaannya? Apakah dia menceritakan tentang aku? Tolong… tolong
katakan padaku…"
"Dia baik – baik saja. Masih seperti Hannah yang Anda kenal." Jawabku
pelan.
Dia
tersenyum simpul. Diraihnya tanganku lalu berkata, “Tolong pertemukan saya dengannya. Sudah
lama aku meredam rasa rindu ingin bertemu. 60 tahun lalu. Sejak dia memberiku
surat itu, tak pernah lagi kudapati dia dalam hidupku. Kuhabiskan waktuku
selama 60 tahun itu untuk mencarinya, tapi tak kunjung bersua. Sampai sekarang,
cinta ini masih suci hanya untuknya. Tiada satu perempuan pun sanggup gantikan
dirinya. Saya mencintainya. Sungguh sangat mencintainya. Jadi, tolong… tolong
pertemukan aku dengannya…”
Hatiku
gamang menyaksikan ekspresi orangtua itu. Dia benar – benar tulus dengan
ucapannya itu. Suaranya bergetar, airmatanya pun tumpah membasahi pipi
keriputnya.
"Achmad…” suara lembut nan sedikit parau menyebut nama kakek itu dari
depan pintu. Lantas kami menoleh kearah sumber suara.
"Hannah…??” sahut Achmad lirih. “Benarkah itu engkau, Hannah? Hannah kekasihku?”
Kakek itu masih tak percaya yang berdiri didepan pintu sambil menyebut namanya
itu adalah sosok wanita yang dicari-carinya selama ini.
“iya,
Achmad. Ini aku, Hannah. Hannah yang selalu mencintaimu…" Hannah tersenyum.
“kemarilah,
kekasihku…” ujarAchmad membentangkan tangannya. Tak ayal lagi, Hannah
menghamburkan diri. Achmad pun mendekapnya erat. Tangis bahagia pecah diantara
mereka berdua.
“Sungguh,
sebuah reuni yang indah…" desis si perawat yang tiba-tiba saja
menyandarkan kepalanya ke pundakku.
“Ya,
pertemuan setelah sekian lama… Tuhan memanglah Maha Perencana. Semua akan indah
pada waktunya…” jawabku dengan merangkulkan tangan kiriku padanya.
illustration by google image |
Satu minggu
kemudian aku menerima sms, "Dapatkah Anda berkunjung ke Panti Jompo Senja Sejahtera pada hari selasa?
Bapak Achmad dan Ibu Hannah akan
melakukan pernikahan!"
“Wow!
Hahaha, akhirnya! Yeaayy…‼” aku berteriak kegirangan. Tak sabar rasanya
menantikan hari selasa yang hanya tinggal tiga hari lagi.
Acara
yang ditunggu – tunggu pun tiba. Pernikahan yang indah dengan disaksikan oleh keluarga besar panti jompo. Hannah tampak serasi dengan gaun krem ringan bersanding dengan Achmad yang mengenakan jas biru tua.
Ah, puas
rasa hatiku melihat resepsi ini. Tak sia – sia rupanya pengorbananku mencari
pemilik dompet antik berisi surat usang dan uang duaribu limabelas. Ya, mereka
menikah di tahun yang sama dengan jumlah nominal uang di dompet itu. Akhir yang
sempurna untuk kisah cinta yang luar biasa.
Fiktif by Menuang Ide, Restu Jati Prayogi.
Fiktif by Menuang Ide, Restu Jati Prayogi.
Kisah Romantik Dompet Antik
4/
5
Oleh
Unknown
Terimakasih telah membaca. Berikan tanggapan Anda pada kolom komentar...