Kamis, 23 Juni 2016

Pria Tua Berhati Mulia

Sudah satu bulan lamanya aku tinggal di sebuah kota kecil di ujung Sumatera ini. Aku jatuh hati padanya. Pemandangannya asri, dan masyarakatnya sangat ramah. Berbeda dengan kota – kota lain yang pernah kusinggahi sebelumnya.

Tempat yang paling kusukai di sini adalah pasar. Pasar? Ya. Kenapa? Karena di sini adalah jalur sutera perdagangan. Ramai setiap hari. Bahkan di hari – hari tertentu, pasar ini terlalu ramai sampai berdesak - desakan.

Hari itu, seperti biasa aku menghabiskan hari liburku dengan mengunjungi pasar. Menyusuri gang demi gang menikmati riuh – rendahnya perniagaan. Tiba – tiba di ujung gang yang sedang aku lewati itu terjadi suatu keributan. Penasaran, aku merangsek masuk ke kerumunan itu.

Pasar Kota Kecil
Illustration by Google Image
“Loh, Pak Dirman?? Ada apa ini ribut – ribut?” Aku mengenali salah seorang yang sedang berseteru itu. Aku biasa membeli buah – buahan padanya.

“Kembalikan uang saya, Pak!” Ujar seorang wanita dengan nada tinggi.

“Tapi saya tidak mengambil uang ibu. Saya hanya melihat dompet ibu tercecer di depan lapak saya. Sehingga saya kejar ibu untuk mengembalikannya. Sumpah, Bu. Sepeser pun saya  tak mengambil uang ibu.”

“Tidak mungkin. Anda pasti telah mengambil uang di dalamnya! Padahal Anda sudah tua, tapi masih saja nekad berbuat demikian...”

“Tapi bu, saya benar – benar tidak mengambil uang ibu...” Si kakek memelas minta pengertian.

“Maling mana mau mengaku! Kalau maling jujur, penuh penjara dibuatnya!” Sahut wanita itu ketus.

“Mbak! Nggak bisa begitu dong, Mbak. Mbak nggak bisa menuduh bapak ini tanpa bukti.” Aku membela.

“Mas nggak usah ikut campur!” Semburnya. . “Mas nggak tahu apa - apa. Bapak ini telah mencuri uang saya. Uang yang akan saya pergunakan untuk membayar biaya sekolah anak saya. Sudah tiga bulan menunggak. Hanya itu uang saya yang tersisa. Saya sudah tak memiliki uang lagi…” Lanjut wanita itu dengan berkaca – kaca.

Pak Dirman terdiam. Orang – orang yang menyaksikan keributan itu pun mendesak sang kakek untuk mengembalikan uang wanita itu.

Beberapa saat kemudian, Pak Dirman merogoh tas kecil di pinggangnya. “In... ambillah…” Kakek itu menyodorkan segepok uang.

Satu bulan berlalu. Aku masih belum lupa tentang kejadian itu. Sejak itulah, lapak Pak Dirman semakin hari semakin sepi. Bahkan sudah beberapa hari dia tak terlihat berjualan. “Kemana Pak Dirman?” pikirku.

Hari ini sangat teduh. Mendung terlihat sudah sangat berat. Tak lama lagi hujan pasti segera turun. aku bergegas menyusuri jalan berdebu yang sudah terlihat sangat sepi itu. Tiba – tiba, “Mas! Tolong saya, Mas…” Seru seseorang dari belakang.

Aku membalikkan badan. Ternyata yang memanggilku adalah wanita yang kehilangan uang waktu itu. “Oh, ada apa Mbak?” tanyaku penasaran.

“Tolong saya, Mas. Saya diikuti oleh orang misterius lagi!” Jawabnya gugup. Dia menggigil ketakutan.

“Orang misterius??”

“Iya, mas. Akhir – akhir ini saya sering diikuti oleh seseorang yang misterius. Menyeramkan sekali.”

“Masa’ sih, mbak?” Aku masih tak percaya.

“Sumpah, mas!” Sahutnya. “Ah, itu dia‼” Sambungnya lagi sambil menunjuk seseorang berjubah kelabu yang berjalan pelan ke arah kami. Dia refleks memposisikan dirinya di belakangku.

“Ayo, mas. Kita harus segera pergi. Saya takut dia hendak mencelakakan saya.” Desaknya menarik – narik tanganku. Aku bimbang. Penguntit itu terlihat terlalu lamban untuk menjadi seorang penguntit. Langkahnya pun gontai seperti zombie. “Aayo, maas…!” Desak wanita itu lagi.

BRUKK!!

Tiba – tiba orang misterius berjubah kelabu itu ambruk. Spontan aku berlari menghampirinya. Kupangku badan kurus nan ringkih itu. Kusingkap jubah lusuhnya. Sontak aku terkejut, “Pak Dirman??” Seruku.

Wanita itu pun terkesiap. Ia membelalakkan matanya seolah tak percaya orang misterius yang kerap menguntitnya adalah orang yang dituduhnya mencuri uang waktu itu.

“Saya... saya bukan pencuri... Saya... hanya... ingin memastikan… ibu itu... tidak kehilangan... dom... dompetnya lagi... Saya... kasihan... uang waktu itu... adalah... hasil dagang saya... saya kasihan... anaknya butuh biaya...”

Aku terpana mendengar pengakuannya. Begitu juga dengan wanita itu yang bersimpuh di  hadapanku.

“Uhukk... Uhuk...”

Kakek itu kesulitan bernapas. Matanya yang merah mengucurkan airmata. Badannya menggigil kedinginan.

“Bertahanlah, Pak! Saya akan panggil dokter!” Kataku.

“Tidak... perlu repot... mas... “ Jawabnya. “Waktu saya... sudah hampir habis...”

“Pak... jangan bicara seperti itu... Maafkan saya...!” Wanita itu histeris mengguncang – guncang badan Pak Dirman. “Maafkan saya, pak...” Ulangnya lagi dengan penuh penyesalan. Airmatanya membanjir. Kakek itu membalas dengan senyuman.

“Hhhhhhh...‼” Napasnya semakin tak beraturan. Tiba – tiba badannya mengejang seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat. Beberapa saat kemudian, tubuh renta itu lemas terkulai. Tepat di pangkuanku.


Tetes demi tetes membasahi jalan berdebu ini. Rinainya semakin bertambah. Hujan deras mengguyur melepas kepergian pria tua berhati mulia itu. Aku mengusap wajahnya. “Semoga dia diberikan tempat yang layak di Sisi-Nya...” Ujarku lirih seraya bangkit menggendong tubuh renta itu.



Pria Tua Berhati Mulia
4/ 5
Oleh

Terimakasih telah membaca. Berikan tanggapan Anda pada kolom komentar...